www.dianovaanwar.blogspot.com Rasanya kurang lengkap jika aku belum menorehkan kenangan-kenanganku pada pria yang satu ini di dalam diari catatan hatiku. Pria yang banyak berperan dalam hidupku, pria yang pernah menyayangiku dan pria yang pernah mengisi hari-hariku. Pria yang kumaksud adalah ayahku. Belum lagi kumulai mengetikkan kata demi kata tentangnya, air mataku sudah tumpah ruah menjadi satu. Ayahku, adalah seorang tua yang luar biasa, mendidik dengan memberi tauladan, bukan hanya dengan sekedar bicara. Ia tidak pernah bicara keras jika bukan pada tempatnya. Ia hanyalah seorang pedagang kecil musiman. Musim puasa ia berjualan kopiah, hari raya berjualan ice cream dan boneka, musim haji berjualan aqua dan kacamata jema’ah haji. Dari pencariannya yang halal ini, Alhamdulillah kami semua jadi. Abangku dan adik laki-lakiku menjadi polisi, kakakku Sarjana Hukum, aku Alhamdulillah menyelesaikan S-3 dan adik perempuanku Sarjana Pendidikan. Rasanya kalau dipikir-pikir secara logika, bagaimana mungkin ayah bisa menyekolahkan kami semua sampai seperti sekarang ini. Selain rezqi dan pertolongan dari Allah, mungkin juga karena kegigihan ayah. Ayah adalah seorang yang selalu tetap semangat dalam setiap usaha yang digelutinya. Sifat pantang menyerah ini juga ada padaku, mungkin sebagai pengaruh dari sifat ayah.
Pada sebagian orangtua banyak menghadapi kendala dalam mendidik anak untuk mendirikan sholat, terutama sholat subuh, bisa dikatakan tidak mudah. Namun ayah, dengan kasih sayangnya membangunkan kami, termasuk diriku, dengan memercikkan air wudhu dari sela-sela jemarinya,kemudian menggendong kami ke kamar mandi untuk berwudhu. Pernah satu ketika di waktu kecil dulu terjadi perselisihan antara aku dan kakakku, hanya gara-gara giliran memasang obat nyamuk, maklumlah waktu itu keadaan kami masih serba kekurangan. Malam itu adalah giliran kakakku, tapi dia malah tidur lebih dulu, aku membangunkannya dan ia enggan. Akhirnya kami bertengkar, dan ayah menyuruh kami tidur diluar teras rumah. Aku membawa bantal dan selimut, kusambung tidurku. Rupanya ayah mengintip dari balik jendela, ayah meminta kami untuk masuk kembali, ia menyuruh kami menulis satu kalimat sampai penuh satu double folio, isinya “Kami berjanji tidak akan bertengkar lagi”. Padahal waktu itu jam telah menunjukkan pukul 1.00 pagi. Itu adalah sebagian dari cara ayah mendidik kami.
Ayah selalu menekankan kepada kami untuk tidak takut kepada siapapun. Ia berkata cuma satu yang pantas ditakuti di dunia ini yaitu Alalh Swt. Ayah selalu bangun lebih dulu di tengah malam. Mendirikan sholat Qiyamul-lail, membaca Al-Qur’an kemudian sholat subuh berjama’ah di mesjid. Sebelum sholat ke mesjid, ayah akan membangunkan anggota keluarga yang belum bangun untuk mendirikan sholat subuh. Ayah juga mendirikan sholat dhuha di sepanjang hari-harinya, infak menjadi salah satu hobinya. Setiap hari Jum’at sebelum ke mesjid, ayah akan mendatangi kami satu persatu untuk meminta uang infak dari uang saku kami, bila yang anak laki-laki akan pergi ke mesjid dengannya. Ia menanamkan untuk gemar berinfak sejak kami masih kecil lagi, sampai-sampai ayah membuat celengan di rumah untuk infak pembangunan mesjid baru.
Satu hal yang tak pernah kulupa, ayah telah mengorbankan separoh dari uang keberangkatan hajinya untuk biaya studi S-2 ku ke India. Padahal ayah telah menabungnya entah sudah berapa lama, dan menanti giliran nomornya keluar sudah 2 tahun. Ia sangat-sangat ingin mengunjungi Baitullah. Karena ayah ikhlas, 2 tahun setelah itu ayah berangkat haji melalui India, bukan hanya tanah suci Mekkah dan Madinah yang dikunjunginya, New Delhi, yang tak terpikir olehnya di singgahinya, selama 2 bulan menetap disana; dan yang semula hanya ayah yang akan berangkat haji, menjadi dua orang, ayah dan bundaku. Allah mengerakkan hati kakakku yagn kebetulan saat itu bertugas di New Delhi untuk menaikkan haji mereka berdua. Subhanallah...!
Do’a ayah sangat mustajab. Sebelum keberangkatan ayah ke Saudi Arabia untuk berhaji, ayah mendengar informasi tentang pemberian beasiswa dari pemerintah India ke mahasiswa Indonesia. Ayah menelponku untuk mengajukan beasiswa itu. Sepulang dari haji ayah, aku mendapat berita gembira, aku mendapatkan beasiswa untuk kembali studi di India. Ayah mendoakanku di Multazam, ayah pulang ke Indonesia dengan sangat bahagia….
Kini ayah telah tiada, namun seharipun aku tak pernah melupakannya. Nasehat-nasehatnya, canda-candanya, marahnya bahkan keharuan matanya yang berwarna keabu-abuan bila menyaksikan Baitullah di televisi. Ayah meninggalkan dunia ini lebih kurang 2 tahun yang silam.Tepatnya di hari Jum’at tanggal 17 Ramadhan 1431H (2010 M). Ayah menghembuskan nafas dengan senyuman dan dengan wajah yang berbinar-binar, ayah meeninggal dalam pangkuanku….Innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun, semoga Allah mengampuni dosa-dosa ayah dan menempatkannya di tempat yang mulia, amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar